Jumat, 05 Oktober 2012

Rap Untuk Melawan

khaled-harrara
Oleh Eva Bartlett

KOTA GAZA  – DI belakang kafe terbuka di Gaza pada larut malam, Khaled Harara dari Black Unit Band mulai bercakap soal rap.

Sebuah panggilan telepon menghentikan ceritanya. “Ya Tuhan, ini ayahku. Dia akan membunuhku jika aku tak segera pulang.” Sungguh tak ada citra keras seorang rapper.
Setelah meyakinkan ayahnya bahwa dia lagi diwawancara, dia dizinkan untuk tetap di sini.

Namun interupsi itu memperkuat keinginannya agar orang lebih paham: rap tak harus seperti yang dibuat pasar. “Kami ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa hip-hop bisa baik; ia tak harus soal seks dan obat-obatan. Kami mengembalikan rap ke akarnya, membicarakan isu-isu nyata.”


Kawannya, Ayman Mughames dari Palestinian Rapperz, bergabung dengannya.
“Ketika kami memulainya pada 2002, pesan kami adalah menunjukkan kehidupan sebenarnya di Palestina dan terutama di Gaza,” ujar Mughames. “Kami bicara tentang banyak hal, sesuatu yang harus dibicarakan: pendudukan Israel, pengepungan Gaza, perang Israel di Gaza, persatuan Palestina.

“Rap adalah cara kami melawan. Kami butuh orang-orang yang melawan bukan hanya dengan senjata tapi juga kata-kata.”

Palestinian Rapperz menjadi generasi rapper “baru” seperti Harara Black Unit Band. Di bawah payung Palestinian Unit, kelompok yang sekarang terdiri atas Palestinian Rapperz, Black Unit, serta musisi pendukung dan penari kejang dari Water Band dan Camps Breakerz.

“Apa yang kami inginkan adalah Palestina bersatu,” ujar Mughames mewakili kelompok itu.

Harara dan Mughames membicarakan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi sebagai rapper di Gaza.

“Orang tak mengerti apa itu rap. Mereka pikir ini pengaruh negatif dari Barat, seolah kami melupakan budaya kami,” ujar Harara. “Namun kami menggabungkan tradisi Palestina dan patriotisme ke dalam rap. Inilah cara kami mendekati para pemuda di dalam maupun di luar Palestina.”

Mereka mengatakan, masalahnya terletak pada rapper lain di Gaza yang tak punya idealisme sama.

“Ada rapper yang jelek. Perilaku mereka buruk, sehingga membuat citra rap menjadi jelek,” ujar Harara. “Namun kami mencoba menunjukkan rap yang sebenarnya kepada para pemuda, dan bagaimana ia dipakai dalam kasus Palestina.”

Harara lalu menjelaskan aktivitas mereka bersama pemuda-pemuda Gaza.
“Baru-baru ini kami mendirikan sekolah hip-hop. Banyak generasi muda datang kepada kami dan bilang ‘kami ingin belajar rap’, karenanya kami membuka sekolah.” Mughames, merujuk sekolah-tua rapper di Gaza, berempati dengan manfaatnya.

“Ini baik untuk para pemuda. Mereka tak bisa melakukan apapun di Gaza. Kami mengajarkan mereka ketrampilan-ketrampilan kongkret: bagaimana membuat lirik yang bagus, mengatur lirik hingga tempo, mengatur suara… bagaimana menjadi rapper yang baik.”

Harara menambahkan, “Sekolah kami gratis. Dan ini benar-benar sangat penting, karena anak-anak ini bisa-bisa menjadi rapper yang buruk dan belajar ide-ide jelek.”

Berbeda dari anggapan umum bahwa banyak masalah mereka muncul akibat serangan Israel atas Gaza, yang dilakukan segera setelah Hamas terpilih pada awal 2006. kondisinya sudah membaik Juni 2007 setelah Hamas menguasai Gaza.

“Peralatan adalah masalah serius,” kata Mughames. “Jika kami mau konser, kami perlu speaker, mikrofon… dan tak mudah mendapatkannya di Gaza.”

“Hanya ada satu DJ yang benar-benar bagus di Gaza, dengan peralatan milik sendiri. Tarifnya sekitar 200-500 dolar sekali pentas. Kami tak mampu membayarnya.”
Membuat album juga tak mudah.

“Karena kami tak punya peralatan, dan studio rekaman terlalu mahal, kami mencoba membuat album yang sangat sederhana, menggunakan program mixer laptop dan merekamnya di rumah,” ujar Harara.

Jackie Reem Salloum, sutradara Palestina-Syiria yang berbasis di New York, memproduksi film dokumenter Slingshot Hip Hop tahun lalu, yang melibatkan artis-artis rap Palestina dan Israel, di antaranya Palestinian Rapperz.

“Ketika film Slingshot dirilis, kami mendapat undangan untuk menghadiri pembukaan. Kami mendapat visa, namun kami tak bisa keluar dari Gaza,” ujar Mughames.
Ada pembatasan di rumah juga. “Kami ingin pergi ke kamp-kamp orang yang kehilangan rumah karena serangan Israel. Kami ingin membuat konser untuk anak-anak yatim piatu,” ujar Harara.

Namun untuk saat ini, para rapper berkosentrasi pada apa yang sudah berjalan. “Kami tak bisa membuat konser, tak bisa meninggalkan Gaza. Kami dibatasi untuk melakukan apa yang kami inginkan. Karenanya kami fokus pada sekolah dan menciptakan banyak lagu,” ujar Harara.

Seperti sebuah lagi mengenai serangan Israel atas Gaza (“23 Days”), lagu-lagu patriotik (“My City”), dan juga lagu-lagu cinta (“Take Me Away”).

Banyak lagu diciptakan untuk menyatukan partai-partai di Palestina. Para rapper terus berbicara perlunya Palestina bersatu dan menghadapi musuh bersama: pendudukan Israel, pengepungan, dan pengingkaran atas hak-hak dasar.

Sebuah lagu mengalun: “Palestina maafkan aku / Aku tak bisa menghentikan semua orang yang menyerobotmu, memperdagangkanmu / Kamu layaknya supermarket, orang menjadi kian kaya karenamu.”

Semua lagu dalam bahasa Arab. “Ini bahasa kami dan kami bangga. Kami bisa mengekspresikan kehalusan dan nuansa dalam bahasa Arab yang tak mungkin kami lakukan dengan bahasa Inggris,” ujar Mughames.

Meski mengalami banyak keterbatasan, Palestinian Unit mampu tampil kini dan esok.
“Kami menggelar sebuah konser di Rachad Shawa [pusat kebudayaan Gaza] beberapa minggu lalu, yang disponsori Mercy Corps,” ujar Mughames. “Pengunjungnya beragam… pemuda, pemudi, bahkan orang-orang konservatif.”

“Ada sekira 6.000 orang, dan mereka tak tahu apa yang mereka harapkan,” ujar Harara. “Dan begitu kami mulai ngerap, mereka terkejut, karena kami ngerap serta ada permainan band dan penari kejang … Orang-orang pun terpesona.”

Pada Desember tahun ini, akan ada konvoi Viva Palestina karena masuknya bantuan kemanusiaan di Gaza. Mughames dan Harara berharap para rapper Palestina dari luar Gaza bergabung ikut konvoi.
(16 Des 2009)

“Kami akan membuat konser pada 1 Januari,” ujar Harara, penuh harap.[]

****************************************************************

Translated by Imam Shofwan
Edited by Budi Setiyono
*Realted post :
Wartawan Bandung Melukis Untuk Palestina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar